Rabu, 04 November 2015

Misteri Danau Rawa Pening





Sebut saja aku Gi. Aku lahir di suatu desa di sekitar danau Rawa Pening, Jawa Tengah. Kalau pembaca semua melihat peta, maka letak danau ini ada di Selatan kota Semarang. Layaknya sebuah danau, Rawa Pening memancarkan pesona keindahan sekaligus mistis. Jika anda bertanya pada penduduk sekitar tentang kemistisannya, sebulan penuh pun tak habis untuk mendengarkan seluruh cerita misterinya.
Legenda menyebutkan, terbentuknya danau ini erat kaitannya dengan kisah seekor siluman ular besar yang bernama Baruklinthing. Namun, aku tidak akan menceritakan kisah legenda ini karena sudah banyak dibahas di milis-milis sebelah, kecuali kalau teman-teman pembaca blog ini meminta aku untuk menceritakan kembali kisah Baruklinthing tersebut.
Kembali ke danau Rawa Pening, dari danau ini mengalir sebuah sungai besar yang dibendung oleh pemerintah untuk PLTA. Sungai ini mempunyai 3 jembatan, yang pertama adalah jembatan rel KA peninggalan Belanda Ambarawa - Tuntang yang terletak di hulu sungai, jembatan utama yang dilewati jalan raya Solo - Semarang (jembatan utama ini terdiri dari 2 jembatan, jembatan menuju Semarang dengan konstruksi baru dan jembatan arah solo yang merupakan peninggalan jaman kolonial), dan yang ketiga adalah jembatan kecil yang terletak diantara jembatan utama dengan bendungan.
Penduduk sekitar sering menyebut sungai ini sebagai sungai Tuntang karena membelah desa Tuntang. Sedangkan di peta, teman-teman akan mengenalinya sebagai sungai Demak (cmiiw). Masyarakat sekitar danau percaya bahwa danau dan sungai ini merupakan bagian dari kerajaan lelembut yang terdiri dari 3 kerajaan besar. Kerajaan pertama terletak di danau Rawa Pening itu sendiri yang mana merupakan pusat dari kerajaan lainnya. Kerajaan kedua terletak diantara jembatan rel kereta hingga jembatan utama, dan dari jembatan utama hingga bendungan merupakan kerajaan ketiga.
Kadang kala pada malam hari terdengar tabuh gamelan yang cukup keras bergema di sekitar danau dan sungai. Suara itu mirip suara tabuhan gamelan pewayangan, seakan-akan ada hajatan yang sedang digelar, padahal tidak ada penduduk desa yang sedang menggelar hajatan tersebut. Jika kita mencari sumber suara tersebut, suara tersebut seperti dari seberang sungai atau danau. Tetapi ketika kita menyeberang, sesampainya di seberang suara tersebut menjadi seolah-olah berasal dari tempat kita semula.
Suara tabuhan gamelan itu bagi kami merupakan pertanda, bahwa keesokan harinya pasti akan ada yang tenggelam. Entah berapa orang yang tenggelam di sana, tetapi mitos menyebutkan tidak ada orang asli Tuntang yang pernah menjadi korban. Memang sepanjang pengetahuan ku, belum ada orang asli Tuntang yang tenggelam dan meninggal di sana.
Pada tahun 1970-an, seorang sesepuh desa kami yang juga memiliki padepokan silat tenaga dalam dan pondok pesantren, sebut saja pak T (alm.), mendapat wangsit dari kakek penghuni kerajaan Rawa Pening berjenggot panjang. Dalam wangsit yang terus didapatnya selama tiga hari berturut-turut tersebut, kakek utusan kerajaan Rawa Pening meminta tumbal "pitik sak kandange" atau dalam bahasa Indonesia ialah ayam sekandangnya. Tentu saja Pak T bingung, apa yang dimaksud dengan ayam sekandang ini, bahkan ada yang mengaku melihat iring-iringan pasukan berkuda jaman kerajaan di jembatan utama.
Berdasarkan keterangan ibu ku yang pada waktu itu masih berumur 12 tahun, terdengar tabuhan gamelan yang sangat semarak, seolah-olah Rawa Pening akan mengadakan hajatan besar. Hingga sekitar tiga hari kemudian, ada dua orang penduduk desa Tuntang yang menaiki bus Palapa dari Semarang hendak turun di sekitar jembatan utama. Tetapi, sopir dan kernet menolak untuk menurunkan kedua penumpang itu disana karena tempat itu lokasinya tepat di tengah pertemuan dua turunan tajam (kalo anda pernah melalui jalan raya Solo Semarang, pasti melewati jalan ini. Jadi baik dari arah Solo maupun arah Semarang keduanya menurun tajam dan bertemu tepat di jembatan utama ini, seperti melewati lembah).
Pada waktu itu memang sudah umum terjadi bis-bis menolak untuk menurunkan penumpang di sana. Oleh sopir dan kernet bus palapa, dua orang ini diturunkan di daerah kebun kopi bernama Bawen. Salah seorang dari penumpang itu adalah kakek tua renta. Ketika hendak diturunkan di Bawen, kakek itu dengan marah dan lantang berteriak "dadi ngene ya carane? (jadi begini ya caranya?)". Kemudian terjadilah kecelakaan maut itu...
Ketika melewati jembatan utama Tuntang, bus Palapa ini tiba-tiba oleng kemudian masuk ke sungai. Terdengar suara benda berat jatuh ke air "SPLASH!!". Penduduk yang melihat berteriak sekencang-kencangnya memberitahu penduduk lain bahwa ada bus yang terjatuh ke sungai. Tiang-tiang listrik dipukul sekencang-kencangnya oleh para saksi mata, berharap agar penduduk yang lain segera keluar dan memberi pertolongan.
Beberapa orang melompat menceburkan diri, mencoba menolong para penumpang. Tapi apa daya, arus sungai terlampau kuat dan air terlampau keruh. Arus yang kuat membengkokkan badan bus sehingga pintu-pintu bus tidak dapat dibuka. Tak ada seorangpun penumpang yang berhasil diselamatkan pada hari itu. Ternyata, inilah yang dimaksud dengan "pitik sak kandange" dalam wangsit yang di terima oleh pak T. Dan malam itu Rawa Pening berpesta, suara gamelan terdengar hingga beberapa hari kemudian. Sejak saat itu, semua bis bersedia menurunkan penumpang di sekitar jembatan utama Tuntang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar