Misteri Danau Rawa Pening
Sebut saja aku Gi. Aku lahir di
suatu desa di sekitar danau Rawa Pening, Jawa Tengah. Kalau pembaca
semua melihat peta, maka letak danau ini ada di Selatan kota Semarang.
Layaknya sebuah danau, Rawa Pening memancarkan pesona keindahan
sekaligus mistis. Jika anda bertanya pada penduduk sekitar tentang
kemistisannya, sebulan penuh pun tak habis untuk mendengarkan seluruh
cerita misterinya.
Legenda menyebutkan, terbentuknya danau ini
erat kaitannya dengan kisah seekor siluman ular besar yang bernama
Baruklinthing. Namun, aku tidak akan menceritakan kisah legenda ini
karena sudah banyak dibahas di milis-milis sebelah, kecuali kalau
teman-teman pembaca blog ini meminta aku untuk menceritakan kembali
kisah Baruklinthing tersebut.
Kembali ke danau Rawa Pening, dari
danau ini mengalir sebuah sungai besar yang dibendung oleh pemerintah
untuk PLTA. Sungai ini mempunyai 3 jembatan, yang pertama adalah
jembatan rel KA peninggalan Belanda Ambarawa - Tuntang yang terletak di
hulu sungai, jembatan utama yang dilewati jalan raya Solo - Semarang
(jembatan utama ini terdiri dari 2 jembatan, jembatan menuju Semarang
dengan konstruksi baru dan jembatan arah solo yang merupakan peninggalan
jaman kolonial), dan yang ketiga adalah jembatan kecil yang terletak
diantara jembatan utama dengan bendungan.
Penduduk sekitar sering
menyebut sungai ini sebagai sungai Tuntang karena membelah desa
Tuntang. Sedangkan di peta, teman-teman akan mengenalinya sebagai sungai
Demak (cmiiw). Masyarakat sekitar danau percaya bahwa danau dan sungai
ini merupakan bagian dari kerajaan lelembut yang terdiri dari 3 kerajaan
besar. Kerajaan pertama terletak di danau Rawa Pening itu sendiri yang
mana merupakan pusat dari kerajaan lainnya. Kerajaan kedua terletak
diantara jembatan rel kereta hingga jembatan utama, dan dari jembatan
utama hingga bendungan merupakan kerajaan ketiga.
Kadang kala
pada malam hari terdengar tabuh gamelan yang cukup keras bergema di
sekitar danau dan sungai. Suara itu mirip suara tabuhan gamelan
pewayangan, seakan-akan ada hajatan yang sedang digelar, padahal tidak
ada penduduk desa yang sedang menggelar hajatan tersebut. Jika kita
mencari sumber suara tersebut, suara tersebut seperti dari seberang
sungai atau danau. Tetapi ketika kita menyeberang, sesampainya di
seberang suara tersebut menjadi seolah-olah berasal dari tempat kita
semula.
Suara tabuhan gamelan itu bagi kami merupakan pertanda,
bahwa keesokan harinya pasti akan ada yang tenggelam. Entah berapa orang
yang tenggelam di sana, tetapi mitos menyebutkan tidak ada orang asli
Tuntang yang pernah menjadi korban. Memang sepanjang pengetahuan ku,
belum ada orang asli Tuntang yang tenggelam dan meninggal di sana.
Pada tahun 1970-an, seorang sesepuh desa kami yang juga memiliki
padepokan silat tenaga dalam dan pondok pesantren, sebut saja pak T
(alm.), mendapat wangsit dari kakek penghuni kerajaan Rawa Pening
berjenggot panjang. Dalam wangsit yang terus didapatnya selama tiga hari
berturut-turut tersebut, kakek utusan kerajaan Rawa Pening meminta
tumbal "pitik sak kandange" atau dalam bahasa Indonesia ialah ayam
sekandangnya. Tentu saja Pak T bingung, apa yang dimaksud dengan ayam
sekandang ini, bahkan ada yang mengaku melihat iring-iringan pasukan
berkuda jaman kerajaan di jembatan utama.
Berdasarkan keterangan
ibu ku yang pada waktu itu masih berumur 12 tahun, terdengar tabuhan
gamelan yang sangat semarak, seolah-olah Rawa Pening akan mengadakan
hajatan besar. Hingga sekitar tiga hari kemudian, ada dua orang penduduk
desa Tuntang yang menaiki bus Palapa dari Semarang hendak turun di
sekitar jembatan utama. Tetapi, sopir dan kernet menolak untuk
menurunkan kedua penumpang itu disana karena tempat itu lokasinya tepat
di tengah pertemuan dua turunan tajam (kalo anda pernah melalui jalan
raya Solo Semarang, pasti melewati jalan ini. Jadi baik dari arah Solo
maupun arah Semarang keduanya menurun tajam dan bertemu tepat di
jembatan utama ini, seperti melewati lembah).
Pada waktu itu
memang sudah umum terjadi bis-bis menolak untuk menurunkan penumpang di
sana. Oleh sopir dan kernet bus palapa, dua orang ini diturunkan di
daerah kebun kopi bernama Bawen. Salah seorang dari penumpang itu adalah
kakek tua renta. Ketika hendak diturunkan di Bawen, kakek itu dengan
marah dan lantang berteriak "dadi ngene ya carane? (jadi begini ya
caranya?)". Kemudian terjadilah kecelakaan maut itu...
Ketika
melewati jembatan utama Tuntang, bus Palapa ini tiba-tiba oleng kemudian
masuk ke sungai. Terdengar suara benda berat jatuh ke air "SPLASH!!".
Penduduk yang melihat berteriak sekencang-kencangnya memberitahu
penduduk lain bahwa ada bus yang terjatuh ke sungai. Tiang-tiang listrik
dipukul sekencang-kencangnya oleh para saksi mata, berharap agar
penduduk yang lain segera keluar dan memberi pertolongan.
Beberapa orang melompat menceburkan diri, mencoba menolong para
penumpang. Tapi apa daya, arus sungai terlampau kuat dan air terlampau
keruh. Arus yang kuat membengkokkan badan bus sehingga pintu-pintu bus
tidak dapat dibuka. Tak ada seorangpun penumpang yang berhasil
diselamatkan pada hari itu. Ternyata, inilah yang dimaksud dengan "pitik
sak kandange" dalam wangsit yang di terima oleh pak T. Dan malam itu
Rawa Pening berpesta, suara gamelan terdengar hingga beberapa hari
kemudian. Sejak saat itu, semua bis bersedia menurunkan penumpang di
sekitar jembatan utama Tuntang.
Arsip Blog
-
▼
2015
(10)
-
▼
November
(10)
- Palagan Ambarawa Posted by Rifan Syambodo Cat...
- UMBUL SIDOMUKTI, Kawasan Wisata Alam Kawasan wis...
- GUNUNG UNGARAN Posted at January 30th, 2015 ...
- Lawang Sewu Dari Wikipedia bahasa Indo...
- Misteri Danau Rawa Pening Sebut saja aku G...
- NAPAK TILAS PERENG KUNING GUNUNG POTRO ...
- Gunung Kendil yang Terterungku 10 Juni 2015 07:...
- Gedong Songo : Candi Yang Hilang di Bukit Ungar...
- Horor Dieng Itu Nyata Adanya 13 Maret 2013 07:35...
- TEKS YANG BERGERAK ...
-
▼
November
(10)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar