Gunung Kendil yang Terterungku
Kadangkala semakin tinggi sebuah gunung, maka akan semakin tinggi tingkat kesulitannya. Memang ada benarnya asumsi demikian, tetapi perlu dibuktikan, benarkah demikian ?. Sumpah serapah dari seorang teman yang sudah beberapa kali mendaki beberapa gunung di atas ketinggian 3000m dpl keluar dari mulutnya di sela-sela erangan nafasnya yang hendak putus, padahal saat itu hanya ingin menggapai puncak setinggi 1305m dpl. Gunung Kendil yang tingganya tidak ada setengah gunung Merbabu 3142m dpl yang persis ada di sisi selatannya ternyata memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi.
Berada di dusun Gojati, Desa Sepakung tepat di sisi utara Gunung Telomoyo-Jawa Tengah terdapat sebuah bukit yang unik. Penduduk setempat memberi nama dengan Gunung Kendil. Berdiri tegak ditengah-tengan lembah di antara 2 bukit yang memanjang, gunung mungil ini berdiri menyembul. Beberapa tulisan di Internet sudah mengulas gunung ini, dan membuat saya tertarik untuk mengulik gunung yang mirip buah dada jika di lihat dari sisi timur dan timur laut.

Ada informasi dari seorang kawan yang memberi tahu jika jalur gunung kendil sudah di buka. Tidak ada salahnya untuk mencoba menikmati jalurnya, yang konon jalurnya cukup berat untuk lutut. Akhirnya, arloji menunjukan pukul 02.00 ada pesan singkat masuk ajakan untuk mendaki gunung kembar ini. Setelah mengumpulkan beberapa kawan, maka kami ber-5 berangkat dari Kota Salatiga. Untuk menuju kaki gunung Kendil, perjalanan bias di mulai dari Ambarawa atau Salatiga menuju Pasar Legi di Banyu Biru, Dari pasar legi kemudian menyusuru jlan kampong menuju dusun Gojati sekitar 4Km jaraknya.
Kembali saya melihat arloji yang menunjuk angka 16.48 dan perlahan kami menyusuri jalananan setapak untuk menuju puncak Kendhil, Berpapasan dengan para petani yang baru saja pulang dari lading dan senyum ramahnya menyambut kami, namun kernyit dahinya menunjukan kegamangan. Beberapa penduduk yang kami temui meminta mengurungkan niat kami untuk mendaki, karena hari sudah menjelang senja dan kami juga belum pernah ke sana. “mas kalau ke sana besok pagi saja saat terang, nanti tersesat jika kemalaman” sanggah ibu yang sepertinya kawatir dengan kami, Kami hanya mencioba meyakinkan jika semua akan baik-baik saja, sambil saya mengamati 2 buah GPS yang akan memandu menuju puncak.

Persawahan dengan padi yang mulai menguning terhampar di sisi kanan kiri jalan setapak yang membelah pematang. Perlahan sawah pun mengilang berganti dengan area perkebunan dan hutan produksi. Benar saja, kami yang semula Nampak percaya diri mulai maju mundur mencari jalur pendakian. Alhasil kami berhenti di rimbunya dapuran bambu yang tak mungkin kami lewati. Langkah bijak adalah kembali pada jalur sebelumnya dan mencari jalan lain.
Setelah melewati semak belukar yang berduri, akhirnya kami menemukan jalur pendakian. Sungguh kami tak mengira jika didepan sana ada ratusan anak tangga dan jika ditumpuk bisa membentuk sudut 45 derajat atau lebih. Napas yang semakin pendek karena jalur yang berat, kini ganti lutut yang bergetar karena jalanan semakin menanjak dan taka da habisnya. Di beberapa gunung, biasanya kami mendapat bonus berupa jalur yang sedikit datar dan bisa digunakan untuk istiraharat atau meluruskan kaki, tetapi kali ini tidak ada. Jalur yang menanjak dan nyaris tidak ada bonus memaksa kami mengambil nafas di sela-sela anak tangga.

Tidak ada perjalanan yang tak berakhir, manakala vegetasi sudah berubah. Kini vegetasi hanya didominasi oleh rerumputan dan ilalang. Serai wangi (Cymbopogon nardus) mendominasi vegetasi yang ada dan menjadi ciri khas daearah pegunungan dengan tanah berbatu. Aroma wangi asiri keluar dari daun serai yang diremas, tidak terbayangkan jika semerbak memenuhi sepanjang jalur pendakian. Puncak sudah di depan mata, manakala tak ada lagi tanah yang lebih tinggi.

Dari ketinggian 1305m dpl terlihat jelas hamparan Rawa Pening di sisi utara. Sebelah timur hingga barat berurut gunung Gajah Mungkur, Merbabu, Telomoyo hingga si kembar Sumbing dan Sindoro. Sembari menikmati puncak Gunung Kendil, api dari kompor portable sudah menyala dan saatnya mendidihkan air untuk menyeduh teh. Senja pun datang dan sang surya mulai menuju peraduannya. Secangkir teh yang sudah menjadi hangat masih tergenggam dalam tanggan sembari menunggu adzan maghrib berkumandang. Latunan doa sang Khalik terdengar dari dusun-dusun kecil di kaki gunung. Tiba saatnya kami kembali turun, yang pasti kembali sumpah serapah itu muncul “sudah tahu gelap tidak bawa senter”.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar